Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Andong, Simbol Priayi yang Berubah

Kompas.com - 16/06/2013, 10:39 WIB

Oleh: Aloysius Budi Kurniawan dan Thomas Pudjo Widijanto

”Kusir andong biyen duwe omah gedong... saiki mung kari senthong.... (Kusir andong dulu punya rumah gedung, kini cuma punya sepetak kamar)”. Itulah sepenggal lirik lagu yang sering terdengar dari warung makan nasi pecel Bu Wiryo di kompleks kampus Universitas Gadjah Mada, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Lagu berjudul ”Kusir Andong” itu merupakan salah satu lagu karya Neo Akustik, kelompok musik asal Yogyakarta, yang sehari-hari mangkal di warung tersebut dengan mendapatkan imbalan uang.

”Lagu itu diciptakan sesepuh kami, seorang pemusik keroncong, almarhum Giyono. Kepada kami, dia meninggalkan wasiat tentang latar belakang penciptaan lagu tersebut dan pandangannya tentang kusir andong yang kini semakin terpuruk,” ujar Dwi Nugroho, salah seorang personel Neo Akustik, saat ditemui di warung yang berdiri sejak 1959 itu.

Menurut Dwi, lagu itu mengisahkan nasib andong atau kereta kuda beserta kusirnya yang hidupnya kini berbalik 180 derajat dibandingkan pada masa lalu. Kusir andong yang dulunya merupakan simbol status sosial seorang priayi Jawa, yang terhormat dan kaya raya—khususnya di Yogyakarta—kini hanya menjadi rakyat jelata. Mereka dulu dikenal sebagai priyagung (orang besar karena kekayaannya, bukan pangkatnya), sekarang hidup benar-benar pas-pasan dan hanya sebagai rakyat biasa.

Andong yang masih menghiasi jalanan di Yogyakarta memang telah berubah fungsi. Selain sebagai alat transportasi turisme dan bakul pasar, Andong juga menjadi sarana kegiatan kesenian, serta aksesori rumah dan hotel. Namun, nasib kusirnya tetap marjinal. Di jalanan, mereka harus mencari uang siang dan malam untuk mencukupi kebutuhan hidup. ”Padahal, pada zaman dahulu, andong milik para priayi yang kalau disewa sehari saja bisa untuk makan seminggu,” ujarnya.

Berubahnya simbol priayi bagi kusir tampaknya sejalan dengan cerita tentang turangga. Dwi mengatakan, salah satu ciri priayi Jawa pada waktu itu yakni selalu memiliki turangga atau kuda. Saat itu, kuda menjadi cerita pelengkap bagi seorang priayi Jawa. Jika priayi tanpa turangga, berarti dia bukan lagi priayi.

Perkembangan andong

Manggalayudha Keraton Yogyakarta Gusti Bendoro Pangeran Haryo Yudhaningrat yang menaruh perhatian terhadap perkembangan andong menyatakan, istilah andong sebenarnya hanya ada di Yogyakarta. Andong awalnya bukan seperti kereta kuda. Bentuk andong waktu itu lebih pendek, tetapi tetap beroda dua. Sebab, jalan di Kota Yogyakarta saat itu sempit. Penumpangnya pun hanya satu orang. ”Namun, sekarang hampir semua bentuk andong berubah menjadi kereta meskipun sebutannya tetap andong,” ujar Yudhaningrat, yang juga Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DI Yogyakarta.

Sejak pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1920), andong yang semula sepenuhnya kendaraan milik Keraton Yogyakarta mulai digunakan masyarakat, tetapi masih terbatas. Saat itu, andong digunakan raja hingga ke bawahannya di tingkat wedana untuk meninjau desa-desa.

Namun, pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII (1921- 1939), andong boleh dimiliki warga biasa, terutama untuk perdagangan. Sejak saat itu, pembuatan andong semakin marak. ”Ada dua perusahaan pembuat andong asal Belanda yang ada di Indonesia, yaitu Barendsch di Semarang dan Yo Hap di Yogyakarta,” ujar Yudhaningrat.

Setelah munculnya dua perusahaan Belanda, pembuatan andong pelan-pelan dipelajari kaum pribumi. Namun, karena masih sulit, harganya menjadi mahal sehingga para pemodalnya menjadi priayi-priayi baru.

Di Yogyakartai, ujar Yudhaningrat, banyak bermunculan pengusaha andong yang pada waktu itu boleh disebut seperti pengusaha taksi.

”Ada yang sampai memiliki 10 andong yang kemudian disewakan sebagai alat transportasi penumpang atau untuk mengangkut barang-barang dagangan. Dengan andong, status sosial mereka menjadi meningkat,” ujarnya.

Namun, dalam perkembangannya, andong semakin lama semakin terdesak oleh adanya angkutan modern seperti bus kota dan taksi. Usaha para priayi pun tak bisa dipertahankan. Mereka banyak menjual andongnya karena tak kuat membiayai perawatan yang waktu itu relatif mahal. ”Memberi makanan kuda dengan rumput saja biayanya sangat mahal. Para pengusaha andong pun semakin terpuruk dan akhirnya bangkrut,” ujarnya.

Pada tahun 1990, jumlah andong yang tercatat di Yogyakarta mencapai sekitar 700 buah. Jumlah itu terus menurun karena banyak yang dijual keluar Yogyakarta. Misalnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membeli 50 andong untuk melayani wisatawan di Taman Monumen Nasional.

Meskipun di Yogyakarta sekarang tidak lagi memberikan kehidupan yang berlimpah bagi pemiliknya seperti dulu, andong masih tetap memberikan kehidupan kepada pemiliknya dan kusir andong.

”Bagi kita, yang penting sekarang adalah usia andong yang lebih dari 50 tahun. Inilah yang perlu dijaga kelestariannya,” kata Yudhaningrat, yang juga Ketua Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia Provinsi DI Yogyakarta.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

5 Tempat Liburan Keluarga di Bandung, Ada yang Cocok untuk Piknik

5 Tempat Liburan Keluarga di Bandung, Ada yang Cocok untuk Piknik

Jalan Jalan
Promo Libur Sekolah di Rivera Outbound & Edutainment Bogor, mulai Rp 65.000

Promo Libur Sekolah di Rivera Outbound & Edutainment Bogor, mulai Rp 65.000

Travel Update
231 Penerbangan di Bandara AP II Layani Kepulangan Jemaah Haji

231 Penerbangan di Bandara AP II Layani Kepulangan Jemaah Haji

Travel Update
Ada Usulan Kenaikan Tarif Pungutan Turis Asing di Bali, Sandiaga: Harus Dilihat Dulu

Ada Usulan Kenaikan Tarif Pungutan Turis Asing di Bali, Sandiaga: Harus Dilihat Dulu

Travel Update
Harga Tiket dan Jam Buka Terkini Sungai Maron Pacitan

Harga Tiket dan Jam Buka Terkini Sungai Maron Pacitan

Travel Update
Taman Aglaonema Terbesar Indonesia di Sleman, Ini Jam Buka dan Harga Tiket Masuknya

Taman Aglaonema Terbesar Indonesia di Sleman, Ini Jam Buka dan Harga Tiket Masuknya

Travel Update
Visa Kunjungan Jangka Pendek di Kepulauan Riau Akan Diumumkan Segera

Visa Kunjungan Jangka Pendek di Kepulauan Riau Akan Diumumkan Segera

Travel Update
Nilai Tukar Rupiah Melemah, Kemenparekraf Dorong Tingkatkan Kunjungan Wisman

Nilai Tukar Rupiah Melemah, Kemenparekraf Dorong Tingkatkan Kunjungan Wisman

Travel Update
Jumlah Pengunjung Gunung Telomoyo Pecahkan Rekor pada Juni 2024, Tembus 63.126 Orang

Jumlah Pengunjung Gunung Telomoyo Pecahkan Rekor pada Juni 2024, Tembus 63.126 Orang

Travel Update
Nilai Tukar Rupiah Melemah, Sektor Parekraf Bisa Apa?

Nilai Tukar Rupiah Melemah, Sektor Parekraf Bisa Apa?

Travel Update
5 Tempat wisata anak di Jakarta yang murah, di Bawah Rp 50.000

5 Tempat wisata anak di Jakarta yang murah, di Bawah Rp 50.000

Jalan Jalan
Dorong Wisatawan Liburan #DiIndonesiaAja, Kemenparekraf Gandeng Tasya Kamila Luncurkan TVC “Libur Telah Tiba”

Dorong Wisatawan Liburan #DiIndonesiaAja, Kemenparekraf Gandeng Tasya Kamila Luncurkan TVC “Libur Telah Tiba”

Travel Update
Ada Diskon Traveloka hingga 68 Persen untuk Liburan Sekolah 2024

Ada Diskon Traveloka hingga 68 Persen untuk Liburan Sekolah 2024

Travel Update
Konser Musik di Tangerang Ricuh, Sandiaga: Jangan Sampai Citra Baik Konser Dicoreng

Konser Musik di Tangerang Ricuh, Sandiaga: Jangan Sampai Citra Baik Konser Dicoreng

Travel Update
Digitalisasi Perizinan Event Disahkan Presiden Joko Widodo Hari Ini

Digitalisasi Perizinan Event Disahkan Presiden Joko Widodo Hari Ini

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com